Tokoh Lintas Agama Indonesia Melawan Diskriminasi Terhadap Aliran Kepercayaan
![]() |
Foto ini diambil pada Agustus 2016 di mana para penganut kepercayaan perempuan dari beberapa aliran kepercayaan tradisional di Indonesia, berdoa dalam pertemuan baru-baru ini di Jakarta. |
RENUNGANHARIANKATOLIK.WEB.ID - Para pemuka agama di Indonesia mendesak pemerintah dan masyarakat untuk mengakhiri berbagai bentuk diskriminasi terhadap para penganut agama leluhur atau penghayat kepercayaan di negara Asia Tenggara itu yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
“Sumber masalahnya pun jelas yaitu tak adanya pengakuan negara yang sungguh bahwa penghayat kepercayaan adalah sebuah agama yang hidup secara nyata dalam masyarakat Indonesia. Ini sebuah ironi di tengah bangsa yang mengagungkan kerukunan dan toleransi antar umat beragama,” demikian pernyataan dari Seminar Agama-Agama (SAA), yang diadakan pada 16-19 November di Cigugur, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat.
Maklumat Cigugur (Deklarasi Cigugur) dihasilkan dari SAA tersebut, yang melibatkan para pemuka agama Buddha, Katolik, Hindu, Islam, dan Protestan serta penganut agama leluhur atau penghayat kepercayaan. Acara itu diselenggarakan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), sebuah organisasi berbagai denominasi Gereja Protestan di Indonesia.
Deklarasi tersebut mengecam “diskriminasi dan intoleransi masih terjadi secara sistematis kepada kelompok masyarakat penganut agama leluhur atau penghayat kepercayaan.”
$ADS={1}
Para pemuka agama itu mendesak pemerintah untuk menghentikan segala tindakan yang menghambat pelayanan publik kepada para penganut agama leluhur atau penghayat kepercayaan dan mendorong berbagai elemen masyarakat untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan persatuan.
Para penganut agama leluhur atau penghayat kepercayaan mengatakan mereka terus menghadapi diskriminasi.
Engkus Ruswana, penganut kepercayaan Budi Daya, turunan dari Sunda Wiwitan, sebuah kepercayaan tradisional Sunda dan koordinator Badan Kerjasama Organisasi-organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mengatakan kepada UCA News pada 21 November bahwa pada Oktober dia mengetahui tentang tantangan yang dihadapi oleh seorang penganut Marapu, sebuah kepercayaan tradisional di Pulau Sumba, Provinsi NTT.
Orang tua pria berusia 20 itu dipaksa untuk mendaftarkan diri sebagai Protestan di kolom agama di Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebelum ia diterima di sekolah di pulau itu yang mayoritas beragama Kristen.
Sekolah membutuhkan ‘surat baptis’ agar ia bisa diterima.
Pria itu menghadapi situasi yang sama ketika dia mengajukan permohonan KTP, katanya.
Indonesia secara resmi mengakui enam agama – Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Konghucu, dan Hindu.
Ruswana mengatakan, pria itu sadar bahwa putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Administrasi Kependudukan 2013 adalah inkonstitusional dan membuka jalan bagi para penganut kepercayaan tradisional agar keyakinan mereka diakui secara resmi oleh negara.
“Jadi, dia ingin mengganti ‘Protestan’ di kolom agama di KTP-nya dengan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tapi, dia tidak bisa melakukan itu karena dia diberitahu bahwa orang tuanya masih terdaftar sebagai Protestan. Dia harus mengikuti orang tuanya,” katanya.
Menurut undang-undang, KTP harus mencantumkan data warga negara termasuk agama, dan kolom agama harus dikosongkan untuk warga negara yang agamanya belum diakui dan penganut kepercayaan tradisional.
$ADS={2}
Penganut empat aliran kepercayaan tradisional mengajukan uji materi tahun 2016, dengan alasan bahwa UU tersebut melanggar prinsip kesetaraan di depan hukum. Putusan mengatakan pasal-pasal dalam UU mewajibkan orang yang menganut kepercayaan tradisional untuk mengosongkan kolom agama di KTP mereka adalah diskriminatif.
Setelah berkonsultasi dengan berbagai pemuka agama, pemerintah memutuskan kolom agama di KTP bagi penganut kepercayaan akan diganti dengan kolom kepercayaan tradisional tanpa mencantumkan nama agama secara spesifik. Sebaliknya, kolom itu akan ditulis nama, Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Ada 187 aliran penghayat kepercayaan tradisional di Indonesia dengan sekitar 12 juta penganut.
Iwan Setiawan, 40 tahun, penganut Kapribaden, sebuah kepercayaan tradisional asal Jakarta mengaku belum menerima KTP dengan tulisan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di kolom agama meski sudah mengajukan permohonan sejak 2019.
“Saya mengadu ke otoritas setempat tahun ini. Tapi mereka mengatakan belum ada. Bahkan ada yang mengatakan kepada saya bahwa hanya ada enam agama yang diakui negara. Mereka tidak begitu mengerti tentang kebijakan terbaru atau bagaimana?” katanya kepada UCA News.
Nilna Rusyda, seorang Muslim dari Jaringan Perempuan Lintas Agama (Jagapelita) cabang Kuningan, mengatakan umat Islam tidak keberatan dengan pengakuan penuh bagi para penganut kepercayaan tradisional.
“Kami menghormati mereka. Meskipun kami menganut kepercayaan yang berbeda, kita memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Mari kita bersatu demi kebaikan,” katanya kepada UCA News.
Pendeta Jimmy Sormin, sekretaris eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan PGI, mengatakan PGI telah menjadikan kebebasan beragama sebagai prioritas utama sejak dulu.
“PGI perlu merespon isu kebebasan beragama. Itu karena masih ada tantangan terutama yang dihadapi oleh penganut kepercayaan tradisional,” katanya kepada UCA News.
“Yang kami lakukan selama ini adalah kami mengajak seluruh anggota PGI untuk mentransformasikan misi kami: bagaimana kami mewartakan Injil demi keadilan bagi semua orang yang belum sepenuhnya diakui hak-haknya,” ujarnya.
[UCANEWS]